Kamis, 08 Maret 2012

Pria sudut warung kopi

Meja segi empat berukuran 50 x  80 cm yang dicat berwarna hitam, terletak di paling pojok, tepat di bawah tangga, tepatnya sebelah kanan jika dilihat dari arah depan warung kopi itu. Diapit dua kursi, dengan warna senada, yang satunya sudah terisi oleh sosok pria yang dari tadi sudah menjadi fokus perhatianku.

Pria dengan paras sendu tapi tegas dan rambut ikal yang sedikit kusut, seperti tampak belum sempat disisir.  Dengan memakai baju biru dengan garis putih tipis sedikit di kerahnya. Celana jeans yang ia kenakan tak jauh usangnya seperti sepeda butut masa kecilku yang ku parkir tepat di bawah pohon asam di depan warung kopi itu juga. Tapi celana itu tetap saja menarik, ada sobekan kecil di dua lututnya, ntah karena sengaja atau memang pernah jatuh dan lalu koyak. Yang lebih menarik bukan baju atau celana yang ia kenakan. Sekali mataku melirik dan tepat di matanya, itu sudah membuat jantungku sedikit gemetar. Dan lirikan kedua membuat aku tak bisa melihat orang sekitarku dalam warung kopi itu, hanya ada dia. Wajahnya kelihatan kuat, jelas bukan pria manja atau metroseksual. wajahnya seperti magnet yang terus membuatku tak bisa berpaling. Matanya sayu tapi tajam, hidungnya mancung dan tidak terlalu besar, dan terlebih lagi bibirnya sedikit tipis berwarna merah jambu, tapi itu bukan lipstik, melainkan warna asli bibirnya. Aku yakin dia bukan pria perokok, jelas tidak ada asbak di atas mejanya.  Hanya secangkir kopi pekat, roti selai, dan sebuah koran media setempat yang dari tadi dibacanya.

Terpikir olehku, kenapa tak ada yang menemaninya. Apakah dia sedang menunggu seseorang atau memang hanya ingin sendiri ya? Di kota ini warung kopi merupakan tempat wajib untuk di tongkrongi. Bahkan sering dijadikan rumah kedua bagi sebagian orang, khususnya laki-laki,. Ya mungkin saja pria itu hanya ingin duduk sendiri sambil menikmati secangkir kopi pekat serta membaca koran yang sedari tadi sudah dibolak-balik olehnya.

Kuakui pria itu tampan dan sangat menarik perhatianku. Terbukti aku sesekali mencuri pandang kesudut warung kopi tempat ia duduk. Aku sebenarnya penasaran, sedang apa dia disini, dimalam minggu ini. Yang terpikir olehku adalah pria ini masing single. Karena, jika dia mempunyai kekasih, sudah pasti malam minggu yang tepat jatuh bersamaan dengang valentine tahun ini, ia sudah pasti sedang merayakan dengan pasangannya. sedikit rasa senang, dan semakin penasaran aku dibuatnya.

Sejenak aku kembali asyik berbincang dengan beberapa temenku yang semuanya pria dan semuanya  jomblo termasuk aku (*hehe, jomblo bermartabat). Posisiku duduk di depan, tepatnya di sebelah kiri warung kopi itu. dan aku duduk menghadap kedalam. Cukup menarik garis pandang secara diagonal, aku sudah bisa melihat pria itu. Di beberapa selingan tawa, aku menyempatkan untuk melihatnya lagi, dan dia masih saja duduk sendiri.

Sudah 45 menit berlalu dari pandangan pertama ku pada sosok pria sudut warung kopi itu, tiba-tiba ada yang sedikit berbeda. Ada sosok wanita baru saja datang ke warung kopi ini. Dengan menggunakan kemeja putih di padu dengan jeans biru muda, serta warna jilbab yang sepadan dengan jeansnya, datang mengampiri meja sudut warung kopi yang dari tadi sudah menjadi pusat perhatianku.

Hanya seper-sekian detik aku hanya diam dengan pandangan kosong, ketika pria tadi menyambut wanita itu dengan senyuman yang semakin mempermanis wajah tegasnya. Dengan sikap gentlemen dia berdiri dan menarik kursi yang sedari tadi dibiarkan kosong didepannya. Dan ternyata kursi itu sudah ada pemiliknya, begitu juga dengan pria itu, bukan single ternyata (*kecewa, hiks).

Akhirnya aku cuma bisa tersenyum sendiri, pria itu cuma sebatas pandangan saja (*hehe, kaleuum). Tak apalah, setidaknya ada waktu hampir satu jam aku bisa melihatnya. sekarang kembali ke laptop, eh salah (*salting), maksutku kembali berbincang-bincang dengan teman laki-laki ku tentang bahagianya bersama di malam minggu di valentine tahun ini. Berharap saja, semoga nanti pria yang duduk di sudut warung kopi itu masih single (*teteuup).

Selasa, 06 Maret 2012

Bebas saja

Tak ada yang berubah,
Seperti ini aku, seperti ini jiwaku.
Bebas, lepas, dan sesuka ku.
Hidup tanpa batas.

Aturan itu memuakkan, bagiku
Apa gunanya itu?
Tak lebih dari penjara.
Melangkah saja perlu ini itu.

Mereka saja yang lakukan, bukan aku.
Atau kamu, ya kamu yang buat aturan itu.
Bagaimana adilkan?
Coba kau lakukan, dan kemudian nikmati aturan mu sendiri.

Aku?
Sudah aku bilang.
Hidup ku tanpa batas.
Bebas, lepas, dan sesuka ku.
Seperti ini aku, seperti ini jiwaku.
Tak ada yang berubah.