Kamis, 13 Oktober 2011

Aku pergi, tunggu aku


Hari ini tak seperti biasanya. Baju berwarna pastel dengan sedikit motif bunga membuat aku lebih manis dari hari kemarin. Dipadu dengan jeans biru langit membuat tampilanku sangat feminim pagi ini. Jilbab berwarna sama dengan bajuku seakan mempertegas bahwa hari ini aku tampak ceria. Hari pun menyambutku dengan hangatnya. Matahari hanya sedikit membuka mata, agar aku tidak kepanasan melewati jalan panjang menuju kantor ku. Indahnya pagi ini, suara knalpot metromini yang selalu kunaiki tak terlalu berisik. Padatnya lalu lintas tak terasa. Jalanan begitu lancar. Hanya saja pak polisi yang memasang muka merajuk, karena tidak ada satupun kendaraan yang bisa dicegatnya.

Aku sengaja duduk di samping jendela. Aku bisa melihat gedung tinggi dan mobil yang berseliweran sepanjang perjalananku menuju kantor. Semakin asik jika ada penyanyi jalanan dengan suara merdunya mengiringi ku di metromini ini. Hari ini dia menyayikan lagu kesukaan ku “pelangi”. Ternyata dia orang ambon, pantas saja suaranya mirip dengan penyanyi sebenarnya “gleen fredly”.  Wah bagusnya !!
Tak terasa metromini sudah sampai tepat di depan kantorku. Gedung tinggi yang sedang kutatap ini, membuat ukiran manis dibibirku. Aku masuk dengan senyuman dan menyapa pak satpam. Dia orang pertama yang ketemui  setiap pagiku. Lift pun terbuka dan aku pun langsung naik kelantai enam tempat dimana aku bekerja.

Meja kerja yang selalu menemaniku tampak rapi. Disudutnya ada bingkai foto sederhana. senyuman yang ada di foto itu membuat aku selalu bersemangat menikmati hari lelah kerjaku. Mawar berwarna merah jambu mempercantik suasana meja kerjaku.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Aku pun mengintip ruang kerja bos yang tak jauh dari mejaku. Kupikir saat ini dia tidak sibuk. Aku menghela nafas dengan cepat. Dengan keberanian aku mengetuk pintunya. Seperti biasa, dia selalu saja tersenyum. Dia adalah motivasi terbesarku, tak hanya itu dia juga menjadi panutan selama hidup di Jakarta ini. Dan hari ini ini aku sedikit deg deg-an menemuinya. Dia menyapaku dengan hangat. Dan akupun dipersilahkan duduk di sofa ruang kerjanya.
Tanpa basa basi aku menyerahkan sepucuk surat beramplop putih. Sesaat dia membacanya, awalnya tampak sedikit raut muka terkejut, namun perlahan terukir senyum bijaksana. Dia memberikan ku ucapan selamat. Katanya:

 “Terimakasih sudah bekerja sama selama ini, ambil semua manfaat dan jadikan bekal dikemudian hari. Saya hanya berpesan, kalau kamu sudah tiba di Aceh, harus menjadi orang sukses, dan saya sangat yakin dengan itu. Titip salam buat orang tua, katakan kepada meraka kalau saya sangat bangga terhadapmu. Oia, jangan sungkan untuk mengirimkan saya kopi aceh ya, hehe. Sukses fika, kita akan selalu menjadi teman. Hubungi saya jika kamu membutuhkan teman untuk bertukar fikiran. Selamat jalan”

Meja kerja yang selalu menjadi teman ku, kini sudah bersih. Terakhir, kumasukkan bingkai foto itu. Sebelumnya, kutatap dia sesaat, batinku berkata “sebentar lagi”. Aku sangat bahagia, sekaligus terharu. Sudah saatnya aku meninggalkan Jakarta. Kota dimana mendidik ku menjadi wanita dewasa. Aku pergi hari ini. Pulang ketempat asalku. 

Rabu, 05 Oktober 2011

Hutan Kuning

Dulu aku sempurna. Berdiri kokoh dengan menatap matahari. Memanjamu dengan kedamaian. Kini aku tua, rapuh dan merana. menopang dengan kaki pun kurasa tak sanggup. Sungguh hidup ku kian susah. Udara segar kini menjadi asap yang pekat, kulit ku pun terlihat semakin pucat. tak pelak membuat kondisiku sama seperti dulu.

Hei kamu dengan sejuta logika yang tak memiliki rasa, coba lihat aku. padang panjang dengan bukit hijau itu kemana? Angin sejuk yang tertawa riang kenapa hilang? Itu rumah ku dan itu pelindung mu. kau bakar jiwaku dengan egoismu, kau hancurkan tubuhku dengan tawa sinismu.

Kurang sabar apa aku, semua yang ada padaku hanya untuk mu. Tapi dirimu tak pernah menyapaku, jangankan itu, untuk sekedar peduli pun kau acuh. Mata sinis mu hanya tertawa melihatku.

Kini  hanya aku yang menunggu mati, dan itu ditangan mu. mungkin kelak kau sadar, di saat udara menghimpit paru mu, disaat hujan menerkam malam mu, disaat matahari membakar nadi mu. Bahwa kau butuh aku, Hutan mu!